Makna, Letak, dan Konteks Kata “MAAR” dalam Bahasa Belanda

Tugas Akhir Mata Kuliah MPL (Metode Penelitian Linguistik). Tulisan ini dibuat ketika penulis masih berkuliah di Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
oleh : Fajar Muhammad Nugraha
dosen : Dr. Lilie Mundalifah Roosman


MAKNA, LETAK, DAN KONTEKS KATA “MAAR”
DALAM BAHASA BELANDA

Latar Belakang
Dalam pembelajaran bahasa, ada banyak hal yang harus diperhatikan supaya tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam penerapannya, baik itu secara lisan maupun tulisan.

Pemahaman arti dan makna suatu kata merupakan hal yang sangat penting jika kita ingin menguasai suatu bahasa, apalagi bahasa asing. Namun pengetahuan tentang pemahaman arti dan makna kata saja tidaklah cukup karena pengetahuan penggunaan (letak), dan di dalam konteks apa saja suatu kata bisa digunakan, serta apa fungsi kata tersebut merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dari sekedar pemahaman arti dan makna kata.

Hal inilah yang melatarbelakangi saya dalam penulisan penelitian ini. Saya akan melakukan penelitian terhadap kata “maar” dalam bahasa Belanda yang memiliki arti dan fungsi yang lebih dari satu dan juga menempati tempat-tempat tertentu dalam penggunaannya di dalam suatu kalimat.

Contoh:
Eigenlijk is het niet één netwerk, maar een hele verzameling…
(sebenarnya ini bukan satu jaringan kerja, tetapi suatu kumpulan…)
(0031, Directe toegang tot Nederland(s), Thiememeulenhoff, hlm. 42)

Nee, we verkopen hier alleen maar boeken.
(Tidak, kami hanya menjual buku di sini)
(Foolen, Ad, De betekenis van Partikels, hlm. 156).

Permasalahan
1. Apa perbedaan antara “maar” sebagai konungsi dengan “maar” sebagai adverbia jika dilihat dari posisinya di dalam sebuah kalimat?
2. Apa makna “maar” sebagai kata hubung dan sebagai adverbia?
Apakah makna “maar” sebagai adverbia mengurangi formalitas sebuah kalimat?

Tujuan
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memaparkan perbedaan antara “maar” sebagai konjungsi dengan “maar” sebagai adverbia melalui posisinya di dalam sebuah kalimat.
2. Untuk memaparkan makna “maar” sebagai konjungsi dan adverbia.
3. Untuk menguji pengaruh informalitas penggunaan “maar” sebagai adverbia di dalam sebuah kalimat.

Batasan Masalah
Karena penelitian ini akan membahas kata “maar”, yang merupakan bagian dari nevenschikkende voegwoorden (kata hubung setara), dan juga merupakan bagian dari bijwoorden (adverbia), maka penelitian ini tidak akan membahas voegwoorden (kata hubung) dan bijwoorden secara menyeluruh, namun hanya membahas voegwoorden dan bijwoorden yang berhubungan dengan kata “maar” itu sendiri.

Latar Belakang Teori
Lazimnya dalam bahasa Belanda, kata “maar” mempunyai arti harafiah dalam bahasa Indonesia “tetapi”,“tapi”, dan "namun".

Contoh: Hij is niet netjes, maar hij is slim.
(dia tidak rapih, tetapi dia pintar).

Kata yang bermakna “tetapi” dan "namun" ini termasuk ke dalam kelompok kelas kata konjungsi yang berfungsi sebagai penghubung kalimat dan memberikan makna pertentangan. Namun tidak hanya itu, kata “maar” juga bisa digunakan sebagai adverbia pada kalimat bahasa Belanda. Pada umumnya, “maar” sebagai adverbia mempunyai arti “hanya” atau “saja” atau “cuma”.

Contoh: Dat boek kost alleen maar € 5.
(harga buku itu hanya € 5).

Bijwoorden adalah nama lain dari adverbia dalam bahasa Belanda. Adverbia berasal dari bahasa latin, yaitu ad (menyertai) dan verbum (kata kerja). Jadi, adverbia adalah kata sifat yang memodifikasi kata kerja. Adverbia menunjukkan pengaruh, keadaan, dan kejadian yang mendapat tekanan dari kata kerja. (http://id.wikipedia.org/wiki/Adverbium)

Berdasarkan ciri dari adverbia yang berpengaruh terhadap kata kerja, maka adverbia (bijwoorden) dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: bijwoorden van modaliteit, bijwoorden van causaliteit, bijwoorden van tijd, bijwoorden van hoedanigheid, bijwoorden van plaats, dan lain-lain. (http://oase.uci.ru.nl/~ans/)

Contoh:
Gaat u zelf maar na.
(Anda selidiki saja sendiri)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
Semantik ; pada penelitian ini saya akan membahas makna kata “maar”, baik sebagai konjungsi maupun sebagai adverbia.

Dilihat dari sub bidang semantik, kata “maar” yang memiliki dua fungsi tersebut termasuk ke dalam kelompok homonim, yaitu kata yang memiliki tulisan dan pengucapan yang sama namun memiliki arti yang berbeda.

Contoh:
“maar” sebagai konjungsi:

Hij is niet netjes, maar hij is slim.
(dia tidak rapih, tetapi dia pintar).
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)

Dibaca /mar/, yaitu diucapkan dengan bunyi vokal “a” yang panjang
Arti: tetapi, tapi, atau namun.

“maar” sebagai adverbia:

Dat boek kost alleen maar € 5.
(harga buku itu hanya € 5).
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)

Dibaca /mar/, yaitu diucapkan dengan bunyi vokal “a” yang panjang
Arti: hanya, saja, atau Cuma.

Melalui pendekatan semantik, ternyata kata “maar” tergabung ke dalam kelompok homonim yang masing-masingnya memiliki arti yang berbeda. Namun jika ditelusuri pengucapannya, ternyata baik “maar” sebagai konjungsi maupun adverbia mempunyai kesamaan dalam hal pengucapannya.

Selain itu, penggunaan kata “maar” di dalam sebuah kalimat juga memberikan makna negasi (pengingkaran), lebih tepatnya disebut niet direkte negatie (negasi yang tidak langsung) (Foolen, Ad, De Betekenis van Partikels).

Contoh:
Ik wilde gaan wandelen, maar het regende
(saya kemarin mau jalan-jalan, tetapi turun hujan)
(Foolen, Ad, De betekenis van Partikels, hlm.116)

Dari contoh di atas dapat dilihat pengingkaran secara tidak langsung yang muncul akibat penggunaan konjungsi “maar”. Pada awalnya “ik” telah berencana untuk pergi jalan-jalan, tetapi akhirnya “ik” tidak jadi pergi jalan-jalan karena ketika “ik” akan melaksanakan rencananya (rencana untuk jalan-jalan), hujan turun, dan lazimnya kennis van de wereld (pengetahuan) orang pada umumnya adalah bahwa orang hanya pergi jalan-jalan ketika cuaca cerah, tidak ketika turun hujan.

Sintaksis ; pada penelitian ini saya juga akan membahas posisi kata “maar” dalam penggunannya pada sebuah frasa, kalimat, paragraf, atau wacana yang bisa ditelusuri melalui pendekatan sintaksis.

Secara sintaksis, konjungsi didefinisikan sebagai kata yang berfungsi menghubungkan dua atau lebih frasa, kalimat, paragraf, atau wacana pada suatu bahasa. Hal ini berarti posisi “maar” dalam suatu kalimat berada di antara elemen yang akan dipertentangkan. Dalam bahasa Belanda, kata-kata konjungsi dapat dikelompokkan ke dalam nevenschikkende voegwoorden (kata hubung setara) dan onderschikkende voegwoorden (kata hubung bertingkat).
(http://oase.uci.ru.nl/~ans/)

Nevenschikkende voegwoorden adalah kata yang menghubungkan elemen-elemen bahasa yang bersifat setara. Nevenschikkende voegwoorden terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu: aaneenschakkelende voegwoorden (kata yang menghubungkan rangkaian), tegenstellende voegwoorden (kata yang menghubungkan pertentangan), causaliteit aanduidende voegwoorden (kata yang mengungkapkan sebab), dan gevolgaanduidende voegwoorden (kata yang mengungkapkan akibat).

Aaneenschakkelend : en, noch, alsmede, alsook
Tegenstellend : maar, doch, of, ofwel, dan wel, dan
Causaliteit aanduidend : want
Gevolgaanduidend : dus
(http://oase.uci.ru.nl/~ans/)

Contoh:
Ik kan niet alles, maar wel heel veel volgen in een gesprek tussen Nederlanders.
(saya tidak bisa semuanya, tetapi sering mengikuti percakapan antara orang Belanda)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 3)

Biasanya “maar” sebagai konjungsi terletak di awal elemen yang akan dijadikan pertentangan dari elemen sebelumnya.

Contoh:
Ik kan niet alles, maar wel heel veel volgen in een gesprek tussen Nederlanders.
(saya tidak bisa semuanya, tetapi sering mengikuti percakapan antara orang Belanda)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 3)

...Ik moet mijn huiswerk doen, maar ik had geen zin.
(…saya harus mengerjakan pekerjaan rumah saya, tetapi waktu itu saya tidak berminat)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 6)

Dari dua contoh di atas dapat dilihat bahwa posisi “maar” sebagai konjungsi selalu berada di awal elemen yang akan dijadikan pertentangan dari elemen sebelumnya.

Jenis Penelitian
Deskriptif-teoretis:
Peneliti menerangkan fungsi, konteks, letak kata “maar” pada kalimat bahasa Belanda dan sekaligus menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya. Pada penelitian ini peneliti memberikan gambaran perbandingan fungsi, konteks, letak dan makna kata “maar”, baik “maar” sebagai konjungsi maupun sebagai adverbia. Beberapa korpus data tentang penggunaan kata “maar” akan digunakan sebagai gambaran dan bahan perbandingan dari makna kata “maar “ sebagai konjungsi dan “maar” sebagai adverbia.

Pada “maar” sebagai konjungsi, peneliti juga akan memberikan gambaran apa saja yang bisa dipertentangkan dengan menggunakan “maar”, apakah peretentangan antar frasa, antar kalimat, antar paragraf, atau pertentangan antar wacana.

Metode Penelitian
Pengumpulan Data Penelitian
Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian primer dan sekunder, karena peneliti tidak hanya menggunakan data-data yang berasal dari buku-buku yang menjadi latar belakang teori pada penelitian ini, akan tetapi peneliti juga akan menggunakan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya sebagai data. Penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan dalam perolehan data-data dan korpus datanya.

Sampel Penelitian
Sebagian besar data dan korpus data yang saya tampilkan pada penelitian ini berasal dari internet, khususnya situs http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar dan http://oase.uci.ru.nl/~ans/ karena saya beranggapan bahwa data-data yang terdapat di internet lebih up to date. Namun tidak hanya itu, beberapa korpus data juga saya ambil dari buku 0031 terbitan ThiemeMeulenhoff dan buku De Betekenis van Partikels terbitan Ad Foolen karena buku itu memuat banyak artikel berbahasa Belanda, sehingga saya mempunyai peluang yang lebih besar untuk menemukan berbagai macam penggunaan “maar” dengan makna yang berbeda.

Teknik pemilihan korpus data saya lakukan secara acak, sehingga saya bisa mengetahui berbagai macam bentuk penggunaan kata “maar” beserta maknanya. Jumlah korpus data yang saya ambil juga tidak saya batasi dengan harapan bisa menemukan berbagai macam bentuk penggunaan kata “maar” beserta maknanya.

Teknis Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dengan teknik kualitatif, karena peneliti tidak membahas frekuensi kemunculan “maar” di dalam sebuah kalimat atau di dalam sebuah wacana, tetapi membahas penggunaan (letak), makna, dan kelas kata “maar” pada kalimat bahasa Belanda.

Korpus Data
Kata “maar” sebagai konjungsi:
Je kunt zeggen “mijn broer staat verderop ”, maar niet “mijn broer staat verderop mijn zus”
(Kamu bisa berkata “abang saya berdiri jauh”, tetapi tidak “abang saya berdiri jauh kakak saya”)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
De combinatie twintig jaren is wel mogelijk, maar alleen in bepaalde contexten.
(Kombinasi 20 tahun memang memungkinkan, tetapi hanya pada konteks-konteks tertentu.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Beide woorden zijn juist, maar vandal is veel gebruikelijker.
(Kedua kata itu benar, tetapi vandal lebih sering digunakan.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Ja, zeggen taalkundigen. Maar in de praktijk adviseren we toch groter dan te schrijven…
(Ya, kata para ahli bahasa. Tetapi pada praktiknya kita menyarankan lebih daripada menuliskan…)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Ja, ik heb ideeёn in mijn hoofd maar het duurt een lange tijd om alles te verzamelen…
(Ya, saya mempunyai ide-ide di kepala tetapi butuh waktu yang lama untuk menggabungkannya…)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 3)
Ik kan niet alles, maar wel heel veel volgen in een gesprek tussen Nederlanders. Maar om op iets te reageren en iets te vertellen in gesprek…
(Saya tidak bisa semuanya, tetapi memang sering mengikuti pembicaraan antara orang-orang Belanda. Tetapi untuk menanggapi dan menjelaskan di dalam percakapan…)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 3)
(P.3) …De avondmens kan eindelijk eens `s nachts aan de slag gaan en `s ochtends uitslapen.
(P.4) …Maar er is meer. …
{(P.3) …Orang yang aktif di malam hari akhirnya bisa beraktifitas di malam hari dan tidur pulas di pagi harinya}
{(P.4) … Tetapi ada lagi…}
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 46)
Veel gespin/geschreeuw maar weinig wol.
(Banyak dipintal tetapi sedikit wol.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Vertederd draaien we een blik ‘met echt konijn’ voor ze open. Heel partijdig. Maar we zijn nu eenmaal niet als scheidsrechter aangesteld.
(Dengan lembut kita membukakan sebuah kaleng dengan “kelinci sebenarnya” untuk mereka. Sangat tidak adil. Tetapi kita sekalipun tidak pernah bersikap adil.)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 125)
Wilde zwijnen zijn in principe niet gevaarlijk, maar ze moeten niet worden geprovoceerd.
(Babi liar pada prinsipnya tidak berbahaya, tetapi mereka tidak boleh terganggu.)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 125)

-Kata “maar” sebagai adverbia:
Gaat u zelf maar na.
(Anda selidiki saja sendiri.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Blijft u maar liggen.
(Anda berbaring saja.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Meldt u zelf maar bij de portier.
(Anda laporkan saja sendiri kepada penjaga pintu.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Kom maar binnen.
(Silahkjan masuk.)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Denk maar aan uitspreken als “Dat geintje kostte me honderd ballen”
(Coba pikirkan tentang pengucapan seperti “Lelucon itu mengahabiskan saya ratusan bola”)
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
Je moet maar langs komen.
(Kamu harus singgah.)
(Vismans, Roel, “Modals Particles in Dutch Directives: A Study in Functional Grammar”)
Nee, we verkopen hier alleen maar boeken.
(Tidak, kami hanya menjual buku di sini.)
(Foolen, Ad, De betekenis van Partikels, hlm. 156)
…, als ik maar vlug weer buiten sta.
(…,seandainya saja saya cepat-cepat berdiri di luar.)
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 51)
Ik heb alleen maar een broer, geen zusters.
(Saya hanya mempunyai saudara laki-laki, bukan saudara perempuan.)
(Foolen, Ad, De betekenis van Partikels, hlm. 149)
Jan is maar medewerker.
(Jan hanyalah seorang pegawai.)
(Foolen, Ad, De betekenis van Partikels, hlm. 150)

Contoh Analisis
1. Sub bidang semantik
*“maar” sebagai konjungsi
Dibaca /mar/, yaitu diucapkan dengan bunyi vokal “a” yang panjang
Arti: tetapi, tapi, atau namun.

Contoh: Ik kan niet alles, maar wel heel veel volgen in een gesprek tussen Nederlanders.
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 3)
(saya tidak bisa semuanya, tetapi sering mengikuti percakapan antara orang Belanda)

*“maar” sebagai adverbia
Dibaca /mar/, yaitu diucapkan dengan bunyi vokal “a” yang panjang
Arti: hanya, saja, atau cuma.

Contoh: Gaat u zelf maar na.
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
(Anda selidiki saja sendiri.)

Baik “maar” sebagai konjungsi maupun sebagai adverbia memliki pengucapan yang sama, yaitu dengan vokal “a” panjang, tetapi kedua jenis kata ini memiliki arti yang berbeda. Maka dari itu, kata “maar” termasuk ke dalam kelompok homonim.

2. Sub bidang sintaksis
Ik kan niet alles, maar wel heel veel volgen in een gesprek tussen Nederlanders.
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 3)
(saya tidak bisa semuanya, tetapi sering mengikuti percakapan antara orang Belanda)

...Ik moet mijn huiswerk doen, maar ik had geen zin.
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 6)
(…saya harus mengerjakan pekerjaan rumah saya, tetapi waktu itu saya tidak berminat)

Dari analisa ini dapat dilihat bahwa kata “maar” yang berfungsi sebagai konjungsi memiliki arti “tetapi” atau "namun" dan selalu terletak di awal elemen bahasa yang akan dijadikan pertentangan dari elemen sebelumnya. Selain itu, “maar” sebagai konjungsi tidak hanya digunakan untuk pertentangan antar kalimat, tetapi juga bisa digunakan untuk mempertentangkan frasa dengan frasa, kalimat dengan frasa, dan pargraf dengan paragraf.

Contoh:
-Pertentangan kalimat-kalimat
Als mensen snel praten, begrijp ik ze niet zo goed. Maar als het een beetje langzamer en duidelijker gaat, kan ik het begrijpen.
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 4)
(Jika orang-orang berbicara cepat, saya tidak bisa memahaminya dengan baik. Namun jika mereka berbicara agak lambat dan lebih jelas, saya bisa memahaminya)

-Pertentangan kalimat-frasa
De combinatie twintig jaren is wel mogelijk, maar alleen in bepaalde contexten.
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
(Kombinasi 20 tahun memang memungkinkan, tetapi hanya dalam konteks-konteks tertentu)

-Pertentangan frasa-frasa
Veel gespin/geschreeuw maar weinig wol.
(http://www.onzetaal.nl/advies/search=context?query=maar)
(Banyak dipintal tetapi sedikit wol)

-Pertentangan paragraf-paragraf
(P.3) …De avondmens kan eindelijk eens `s nachts aan de slag gaan en `s ochtends uitslapen.
(P.4)Maar er is meer. …
(0031, Directe toegang tot Nederland (s), Thiememeulenhoff, hlm. 46)
{(P.3) …Orang yang aktif di malam hari akhirnya bisa beraktifitas di malam hari dan tidur pulas di pagi harinya}
{(P.4) … Tetapi ada lagi…}

Simpulan Sementara
Kata “maar” pada bahasa Belanda memiliki dua fungsi. Fungsi yang pertama adalah sebagai konjungsi dan fungsi yang kedua adalah sebagai adverbia, yaitu kata yang menyertai kata kerja.

Secara sintaksis, di dalam penggunaannya sebagai konjungsi pada sebuah kalimat, kata “maar” terletak pada bagian awal kalimat yang akan dipertentangkan. “Maar” tidak hanya mempertentangkan suatu kalimat dengan kalimat sebelumnya, tetapi kata “maar” juga bisa mempertentangkan frasa, kata, paragraf, dan wacana. Dalam hal ini, kata “maar” merupakan bagian dari tegenstellend voegwoord, yaitu kata hubung yang memberikan makna pertentangan antara suatu elemen bahasa dengan elemen sebelumnya.

Berbeda dengan fungsinya sebagai voegwoord, “maar” sebagai adverbia tidak memberikan makna pertentangan dalam penggunaannya, tapi “maar” sebagai adverbia hanya memberikan penekanan nuansa makna yang berbeda.

Contoh:
(1) Nee, we verkopen hier alleen boeken.
(Tidak, kami hanya menjual buku di sini)
(2) Nee, we verkopen hier alleen maar boeken.
(Tidak, kami hanya menjual buku di sini)

Kedua pernyataan di atas sebenarnya memiliki makna yang sama, tetapi pernyataan (1) memiliki nuansa yang lebih formal jika dibandingkan dengan pernyataan (2) (Foolen, Ad, De betekenis van Partikels, hlm. 156). Selain itu, “maar” juga merupakan kata yang homofon, yaitu kata yang memiliki penulisan dan pengucapan yang sama namun memiliki arti yang berbeda.

Kata “maar” sebagai konjungsi secara tidak langsung juga memberikan makna negasi/pengingkaran (niet direkte negatie)

contoh:
-Gisteren wilde ik boodscappen gaan doen, maar het regende hard
(Kemarin saya ingin berbelanja, tetapi tidak jadi karena turun hujan deras)

Sebenarnya “ik” sudah berencana untuk berbelanja, tetapi dengan penggunaan kata “maar” yang diikuti dengan keterangan bahwa kemarin turun hujan deras, maka secara implisit muncul makna pengingkaran bahwa “ik” tidak jadi berbelanja karena ketika “ik” akan pergi berbelanja, huajn turun dengan derasnya.

Jadi jika dilihat secara semantik, maka kata “maar” termasuk ke dalam kelompok homonim, yaitu kata yang penulisan dan pengucapannya sama, namun memiliki arti yang berbeda satu sama lain, yaitu “maar” yang berarti “tetapi” (“maar” sebagai konjungsi) dan “maar” yang memiliki arti “hanya”/ “cuma”/”saja” (“maar” sebagai adverbia).

Labels: , , , ,

“Gaya Bahasa Yang Paling Banyak Digunakan Pada Kemasan Sabun Cuci”

Tugas Akhir Mata Kuliah SEMANTIK. Tulisan ini dibuat ketika penulis masih berkuliah di Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
oleh : Fajar Muhammad Nugraha
dosen : Andrea Pradsna Paramita Djarwo, M.A.


“Gaya Bahasa Yang Paling Banyak
Digunakan Pada Kemasan Sabun Cuci”



Latar Belakang
Pada saat ini semakin banyak tawaran berbagai macam produk kepada kita. Sebagai calon konsumen tentunya hal ini menjadi masalah buat kita, kita dibuat bingung oleh perusahaan-perusahaan produksi dan perusahan-perusahaan penyalur berbagai macam produk itu, sebenarnya produk mana yang cocok dengan kebutuhan kita?, dan saat-saat seperti ini juga bisa menjadi ajang bagi perusahaan-perusahaan untuk menunjukkan kualitas mereka, baik itu kualitas barang yamg mereka produksi maupun kualitas copy writer-nya dalam mempengaruhi calon konsumen untuk membeli dan memakai produk yang mereka tawarkan.

Keadaan seperti ini merupakan keadaan yang sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan produksi dan perusahaan-perusahaan penyalur suatu produk, karena ketika konsumen “bingung” produk mana yang akan dibeli, maka di saat inilah para perusahaan itu berlomba-lomba membuat promosi produk-produk mereka. Media promosi suatu produk itu bermacam-macam, bisa melalui iklan audio visual (iklan televisi dan internet), iklan visual (iklan radio), iklan-iklan pada media cetak, iklan spanduk, dan iklan pada kemasan produk itu sendiri.
Dalam hal ini, apapun media yang digunakan untuk berpromosi, gaya bahasa akan sangat diperhatikan oleh perusahaan yang akan memasang iklan produknya, karena gaya bahasa mempunyai efek yang sangat kuat untuk mempengaruhi calon konsumen membuat keputusan produk sejenis dari merk mana yang akan dibeli. Jadi, atas latar belakang inilah saya merasa tertarik untuk membahas gaya bahasa yang digunakan perusahaan-perusahaan dalam menarik minat calon konsumennya untuk membeli produk yang mereka tawarkan.

Makalah ini akan membahas gaya bahasa yang digunakan perusahaan-perusahaan sabun cuci pada kemasan produknya, karena saya melihat semakin bertambahnya jumlah merk sabun cuci saat ini, sehingga “perang slogan” antar perusahaan dengan menggunakan gaya bahasa tertentu merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti.

Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan saya bahas pada makalah ini adalah:
1. Gaya bahasa apa yang paling banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan sabun cuci pada kemasan produknya?
2. Mengapa perusahaan-perusahaan sabun cuci itu menggunakan gaya bahasa tersebut pada kemasannya?

Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
Menentukan gaya bahasa apa yang paling banyak digunakan perusahaan-perusahaan sabun cuci pada kemasan produknya.
Menentukan alasan mengapa perusahaan-perusahaan sabun cuci menggunakan gaya bahasa tersebut pada kemasan produknya.

Batasan Masalah
Masalah yang akan dibahas pada makalah ini hanyalah gaya bahasa di setiap kemasan sabun cuci yang saya jadikan sampel penelitian. Pengaruh harga dan desain kemasan tidak akan dibahas pada makalah ini.

Sampel Penelitian
Pada penelitian ini saya menggunakan lima sampel produk sabun cuci dari tiga perusahaan yang berbeda, yaitu:

Rinso Anti Noda : Perusahaan Unilever
So Klin Power : Perusahaan Wings
Attack Clean Maximizer : Perusahaan Kao
Attack plus Softener : Perusahaan Kao
Daia Daya Cuci Extra : Perusahaan Wings

Urutan sampel penelitian di atas disesuaikan dengan produk mana yang lebih dahulu beredar di masyarakat.

Saya sengaja menggunakan sampel penelian tersebut di atas, karena empat produk di atas, kecuali Daia merupakan produk sabun cuci yang sudah lama berada di pasaran dan sudah memiliki banyak konsumen.

Analisa
Gaya bahasa yang digunakan pada kemasan produk sampel penelitian di atas adalah:

Rinso Anti Noda : “Membersihkan paling bersih”
So Klin Power : “Bersih sempurna”
Attack Clean Maximizer : “Hanya 1 sendok untuk kebersihan sesungguhnya”
Attack plus Softener : “Hanya 1 sachet untuk kebersihan dan kelembutandalam 1 langkah”
Daia Daya Cuci Extra : “Pakai Daia nggak mau yang lain!”

Dari contoh-contoh gaya bahasa di atas sangat terlihat jelas bahwa ternyata gaya bahasa pada kemasan sabun cuci yang masih sering digunakan oleh beberapa perusahaan sabun cuci adalah gaya bahasa hiperbola, yaitu gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu secara berlebih-lebihan.

Mari kita lihat pembahasannya satu per satu. Unilever dengan produknya Rinso Anti Noda menggunakan slogan “membersihkan paling bersih”. Slogan ini sangat kuat nuansa hiperbolanya dengan penggunaan kata “paling”, jadi slogan ini bermakna “tidak ada sabun cuci lain yang bisa membersihkan cucian, kecuali menggunakan Rinso Anti Noda.

Tidak berbeda dengan Unilever, Wings juga menggunakan gaya bahasa hiperbola pada kemasan produk sabun cucinya, nuansa hiperbola ini muncul dengan penggunaan kata “sempurna”. Kata “sempurna” pada kemasan sabun cuci So Klin ini bermakna tidak ada sabun cuci lain yang bisa membersihkan cucian kecuali So Klin.

Kao dengan Attack Clean Maximizer dan Attack plus Softener nya menggunakan kata “hanya” untuk menarik hati calon konsumennya. Dengan penggunaan kata “hanya” pada kemasan produknya, Kao secara implisit menawarkan sisi ekonomis produknya. Pada produk Attack Clean Maximizer, tidak hanya kata “hanya” yang memperkuat nuansa hiperbolanya, tetapi penambahan kata “sesungguhnya” juga memperkuat nuansa hiperbola pada kemasan produk ini, karena selain penghematan (sisi ekonomis dengan hanya menggunakan satu sendok), Attack Clean Maximizer juga mampu membersihkan cucian dengan hasil yang sangat memuaskan (hal ini terlukiskan pada frasa “kebersihan sesungguhnya”). Jadi penggunaan gaya bahasa hiperbola oleh Kao pada kemasan sabun cuci Attack bertujuan untuk menyampaikan pesan ekonomis (penghematan) dan pesan kesempurnaan hasil pencucian.

Sampel produk yang terakhir adalah Daia dari perusahaan Wings. Wings juga menggunakan gaya bahasa hiperbola pada kemasan produk sabun cucinya yang bermerk Daia. Frasa “nggak mau yang lain” merupakan kunci utama kemunculan makna hiperbola pada kemasan produk ini. Berbeda dengan gaya bahasa hiperbola produk-produk sampel sebelumnya yang hanya menawarkan janji-janji kesempurnaan hasil cucian dan keekonomisan produk kepada calon konsumennya, Wings tidak melakukannya. Namun wings mencoba “menyetir” pemikiran calon konsumennya (mencoba memanipulasi pemikiran calon konsumennya).

Pada slogan “Pakai Daia nggak mau yang lain!” terlihat jelas bahwa produsen Daia mencoba “menyetir” pemikiran calon konsumennya untuk tidak mencoba produk sejenis lainnya, namun hanya menggunakan produk Daia. Tentunya hal ini tidak begitu saja muncul, tetapi dengan menggunakan slogan itu, secara tidak langsung konsumen akan berpikir “apa yang menyebabkan saya tidak mau mencoba produk sejenis lainnya?”. Dengan kata lain, manipulasi pikiran ini secara tersirat mencoba melakukan pembentukan opini publik bahwa “pasti ada sesuatu yang membuat kita (para konsumen) tidak mau mencoba produk sejenis lainnya!”. Opini inilah yang diinginkan oleh produsen Daia, karena calon konsumen akan berpikir bahwa “tentunya Daia memiliki kualitas yang sangat bagus sehingga ia (Daia) berani menjamin kita (calon konsumennya) untuk tidak mencoba produk sejenis lainnya.

Alasan Penggunaan Gaya Bahasa Hiperbola
Jika ditelusuri mengapa perusahaan sabun cuci lebih suka menggunakan gaya bahasa hiperbola pada kemasan produknya, ternyata hal ini disebabkan oleh nuansa yang ditimbulkan oleh gaya bahasa hiperbola tersebut. Gaya bahasa hiperbola pada kemasan sabun cuci tidak hanya menimbulkan kesan “wah” dari suatu produk sabun cuci tertentu, namun lebih dari itu, gaya bahasa hiperbola ini bisa memanipulasi pikiran calon konsumen untuk tidak menggunakan produk sejenis lainnya dan bisa memberikan perasaan nyaman dan puas konsumen.

Rinso Anti Noda menggunakan slogan “membersihkan paling bersih”. Jelas terlihat pada slogan ini bahwa Rinso Anti Noda memberikan jaminan kepada calon konsumennya bahwa jika anda mencuci dengan rinso anda akan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Penggunaan slogan ini tentunya akan memberikan kenyamanan dan kepuasan kepada calon konsumennya, karena produk ini memang sangat cocok digunakan untuk mencuci.

So Klin power menggunakan slogan “bersih sempurna”. Tidak jauh berbeda dengan Rinso, So Klin juga memberikan perasaan nyaman dan puas kepada calon konsumennya dengan menjajikan hasil pencucian yang paling sempurna. Namun slogan yang digunakan So Klin ini saya rasa lebih besar efeknya daripada slogan yang digunakan oleh Rinso, karena slogan “bersih sempurna” maknanya bisa lebih luas dari slogan “mencuci paling bersih”. “Mencuci paling bersih” hanya menjanjikan hasil pencucian yang bersih, namun slogan “bersih sempurna” bisa diinterpretasikan tidak hanya pakaian bersih yang akan diperoleh jika dicuci dengan So klin, namun bisa juga keharuman dan kelembutan pakaian yang akan didapat jika pakaian dicuci menggunakan So Klin, karena kesempurnaan hasil cucian tidaklah hanya bersih tetapi juga wangi dan lembut.

Attack Clean Maximizer menggunakan slogan “Hanya 1 sendok untuk kebersihan sesungguhnya”. Slogan ini juga memberikan kesan yang lebih mendalam daripada slogan yang digunakan oleh Rinso Anti Noda. Attack tidak hanya menjanjikan kebersihan tetapi lebih daripada itu, Attack juga menawarkan sisi hemat dari penggunaan produknya. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap calon konsumennya, apalagi calon konsumen yang berada di Indonesia.

Situasi ekonomi Indonesia yang sedang tidak stabil menyebabkan penduduknya harus bisa berhemat dalam segala hal karena harga semua kebutuhan hidup menjadi mahal. Attack menggunakan isu ekonomi yang tidak stabil ini sebagai latar belakang pembuatan slogannya. Bersih tentu saja tujuan utama dari sebuah pencucian, namun “satu sendok untuk kebersihan sesungguhnya” lebih dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi calon konsumen, karena hanya dengan menggunakan satu sendok bubuk deterjen untuk pencucian, cucian bisa bersih, dan ini berarti penggunaan sabun ini sangatlah hemat dan memberikan hasil yang sangat memuaskan.

Tidak jauh berbeda dengan produk sebelumnya, produk Attack plus Softener juga menjadikan isu penghematan sebagai tujuan dari penggunaan slogannya. Slogan yang digunakan adalah “Hanya 1 sachet untuk kebersihan dan kelembutan dalam 1langkah”. Slogan ini juga memberikan jaminan hemat kepada calon konsumennya, namun ada sedikit perbedaan, yaitu penggunaan frasa “dalam 1 langkah”. Selain menjanjikan penghematan, penggunaan frasa “dalam 1 langkah” juga menjanjikan kemudahan bagi para calon konsumennya, karena dengan menggunakan produk Attack plus Softener pakaian tidak hanya bersih, tetapi juga menjadi lembut. Dengan kata lain calon konsumen tidak lagi harus merendam cuciaanya dengan pelembut setelah pencucian, hal ini tentu saja memberikan keuntungan ganda kepada penggunanya, yaitu hemat dan mudah.

Sampel terakhir adalah Daia dengan slogannya “Pakai Daia nggak mau yang lain!”. Berbeda dengan produk-produk sebelumnya, Daia tidak menonjolkan janji-janji kesempurnaan hasil pencucian dan penghematan jika menggunakan produk ini. Efek yang menjadi tujuan utama dari penggunaan gaya bahasa hiperbola pada produk kemasan Daia adalah manipulasi pikiran calon konsumen bahwa Daia adalah satu-satunya produk yang paling tepat digunakan untuk mencuci pakaian. Dari pemikiran calon konsumen yang terlahir dari hasil manipulasi ini akan muncul lagi reaksi yang lain, yaitu pertanyaan-pertanyaan calon konsumen tersebut hal apa yang menyebabkan Daia berani mengeluarkan pernyataan seperti pada slogan itu. Apakah Daia mencuci lebih bersih dari produk sejenis lainnya? Apakah Daia lebih lembut di tangan saat melakukan pencucian? Apakah Daia menjadikan cucian wangi dan lembut? Apakah penggunaan Daia cukup hemat? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang nantinya akan muncul di kepala para calon konsumennya. Jadi tujuan utama Daia menggunakan gaya bahasa hiperbola pada kemasan produknya adalah untuk memanipulasi pikiran calon konsumen sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan memunculkan perasaan ingin tahu calon konsumen dan ingin mencoba menggunakan produknya.

Dari analisa di atas terlihat bahwa tiap-tiap perusahaan mempunyai tujuan yang sama dalam penggunaan gaya bahasa hiperbola pada kemasan produknya, yaitu supaya para calon konsumen mau menggunakan produk atau sekurang-kurangnya mencoba menggunakan produk dari perusahan masing-masing. Namun dalam pencapaian keputusan calon konsumen untuk membeli produk mereka, setiap perusahaan mempunyai “isu” masing-masing, seperti:

Rinso : isu kesempurnaan pencucian
So klin : isu kesempurnaan pencucian
Attack Clean Maximizer : isu kesempurnaan pencucian dan penghematan
Attack plus Softener : isu kemudahan dan penghematan
Daia : memanipulasi pikiran calon konsumen

Kesimpulan
Dari penelitian ini semua produk sabun cuci yang dijadikan sampel menggunakan gaya bahasa hiperbola sebagai slogan pada kemasan produknya. Gaya bahasa ini tidak hanya menjanjikan kesempurnaan hasil pencucian dengan produk masing-masing, tetapi juga menjanjikan kemudahan dan penghematan.

Penggunaan gaya bahasa hiperbola ini juga merupakan gaya bahasa yang tepat digunakan untuk calon konsumen Indonesia, khususnya gaya bahasa hiperbola yang menonjolkan kemudahan dan penghematan. Hal ini disebabkan oleh situasi sosial dan ekonomi masyarakat sedang tidak stabil, sehingga penonjolan nuansa kemudahan dan penghematan merupakan senjata yang sangat ampuh untuk menarik minat para calon konsumen.

Alasan perusahaan-perusahaan sabun cuci menggunakan gaya bahasa hiperbola sebagai slogan pada kemasan produk mereka adalah untuk menarik perhatian calon konsumen supaya mereka mau menggunakan atau setidak-tidaknya mencoba menggunakan produk sabun cuci yang diproduksi oleh perusahaan masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena ungkapan-ungkapan pada slogan yang ditampilkan pada kemasan produk sabun cuci itu merupakan hal yang selama ini diimpikan oleh para pengguna sabun cuci, yaitu: hasil cucian yang bersih, wangi, lembut di tangan, melembutkan cucian, mudah, dan murah.

Saya rasa media iklan pada kemasan produk memang hal yang mendapatkan bagian paling serius dalam periklanan sabun cuci di Indonesia, karena sebagian besar perusahaan juga sering mengadakan undian berhadiah uang tunai atau barang mewah dengan salah satu persyaratan mengirimkan satu atau lebih dari satu (sesuai jumlah yang diminta perusahaan yang bersangkutan) kemasan sabun cuci dalam bentuk sachet dan kemudian diundi. Hal ini akan menyebabkan para konsumen berduyun-duyun membeli produk yang bersangkutan sebanyak-banyaknya. Karena ingin membeli banyak, tentunya konsumen akan membeli produk dengan kemasan sachet karena lebih murah harganya dan bisa dibeli dalam jumlah besar sekaligus.

Maka dari itu perusahaan-perusahaan sabun cuci mengoptimalkan promosi produk mereka melalui media kemasan produknya. Dalam kasus produk sabun cuci, ternyata hal yang paling ditonjolkan pada kemasannya adalah penggunaan gaya bahasa hiperbola yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi sosial ekonomi calon konsumen yang akan menggunakan produk mereka.

Labels: , ,

Laporan pengamatan "Seminar Upacara Seren Taun-2006"

Tugas Akhir Mata Kuliah PMKI. Tulisan ini dibuat ketika penulis masih berkuliah di Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
oleh : Fajar Muhammad Nugraha
dosen : Prapto Yuwono M.Hum.


Artikel Laporan Tentang:

SEMINAR
UPACARA SEREN TAUN
DI KAMPUNG SINDANG BARANG, KABUPATEN BOGOR
DI KAMPUS FIB UI


Upacara Seren Taun adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat Sunda sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya berupa hasil pertanian yang telah Ia berikan untuk kesejahteraan hidup manusia. Selain itu, ritual Seren Taun ini juga merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Sunda terhadap tahun-tahun yang telah mereka lalui sekaligus menyambut tahun yang akan datang dengan harapan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap memberikan limpahan rahmatnya berupa hasil pertanian yang mencukupi.

Upacara Seren taun ini dilaksanakan pada akhir bulan Mangsa Bakti (bulan ke-12 kalender Pajajaran). Upacara ini berlangsung selama empat hari berturut-turut, dimulai pada empat hari sebelum purnama pada bulan Mangsa Bakti dan berakhir ketika purnama penuh pada bulan itu. Upacara Seren Taun ini juga terbagi dua, yaitu Seren Taun Guru Bumi dan Seren Taun Tutug Galur. Seren Taun Guru Bumi adalah upacara yang diselenggarakan setiap tahun, sedangkan Seren Taun Tutug Galur adalah upacara yang diselenggarakan setiap delapan tahun sekali.

Kedua upacara ini tidak begitu berbeda, hanya saja waktu pelaksanannya yang berbeda.
Nama-nama bulan Pajajaran adalah:
Mangsa Guru : bulan ke-1
Mangsa Bumi : bulan ke-2
Mangsa Ratu : bulan ke-3
Mangsa Desa : bulan ke-4
Mangsa Ngarang : bulan ke-5
Mangsa Lilir : bulan ke-6
Mangsa Rarawat : bulan ke-7
Mangsa Dadama : bulan ke-8
Mangsa Sesela : bulan ke-9
Mangsa Budi : bulan ke-10
Suda Mangsa : bulan ke-11
Mangsa Bakti : bulan ke-12

Jadi, pelaksanaan upacara Seren Taun ini dilaksanaan pada akhir bulan Mangsa Bakti untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan hasil pertanian dan sekaligus menyambut datangnya bulan pertama di tahun baru, yaitu bulan Mangsa Guru, dengan harapan Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada masyarakat Sunda.

Pada tanggal 24 Mei 2006 diadakan seminar tentang kebudayaan dan kesenian Sunda di kampus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Salah satu hal yang paling menarik didiskusikan adalah tentang pelaksanaan upacara Seren Taun. Mengapa saya berpendapat demikian? Karena, ternyata pelaksanaan Seren Taun pada tahun 2006 ini adalah pelaksanaan yang pertama setelah 35 tahun absen.

Pada tahun 1971, setelah kematian tetua masyarakat adat Sunda, terdapat perbedaan paham di dalam kubu masyarakat Sunda. Kubu yang pertama menginginkan bahwa kepala kerbau pada upacara Seren Taun dikuburkan, sementara kubu yang satunya lagi tidak mau menguburnya. Jadi alasan inilah yang menyebabkan dihentikannya penyelenggaraan upacara Seren Taun selama 35 tahun terakhir menurut Bpk. Mikami, pembicara sekaligus perwakilan masyarakat adat Sunda.

Menurut beliau, ketika pelaksanaan upacara Seren Taun diusulkan kembali pada tahun 2005, perbedaan pendapat tersebut terjadi kembali, sehingga diambillah jalan tengah dengan menguburkan bagian-bagian tubuh kerbau saja dengan dibalut kain putih dan daun pisang, karena menurut beliau, tradisi penguburan kepala kerbau itu adalah pengaruh dari masyarakat Cirebon.

Akhirnya kata sepakat diperoleh, dan upacara Seren Tun pun kembali diselenggarakan di Kampung Sindang Barang, Kabupaten Bogor. Namun saya berpendapat bahwa upacara yang mulai diselenggarakan lagi pada tahun 2006 ini bukanlah murni dilakukan dengan tujuan pelestarian budaya Seren Taun, karena ada banyak hal yang berubah dari ritual pelaksanaannya, yaitu mulai dari pengambilan jalan tengah untuk menguburkan bagian-bagian tubuh kerbau (untuk menghindari bentrok dua kubu yang berselisih paham), sampai kepada penari lelaki dewasa yang digantikan oleh wanita. Hal ini terjadi, menurut Bpk. Mikami, karena saat ini tidak ada lagi anak lelaki yang mau menari, itulah sebabnya tarian-tarian pada upacara ini diambil alih oleh kaum hawa.

Jadi, saya berpendapat bahwa pelaksanaan kembali upacara Seren Taun ini pada tahun 2006 lebih mempunyai tujuan pariwisata daripada sekedar untuk melestarikan kebuadayaan Sunda. Lama-kelamaan pelaksanaan upacara Seren Taun yang seperti ini bisa menjadi perusak kebudayaan asli masyarakat Sunda jika tidak ada kejelasan apakah kepala kerbau itu dikubur atau tidak, dan jika para penari lelaki dewasa tetap digantikan oleh wanita, karena hal ini bertentangan dengan upacara Seren Taun yang dilaksanakan terakhir kali pada tahun 1971.

Pendapat saya ini diperkuat dengan sikap pembicara sekaligus perwakilan tetua masyarakat Kampung Sidang Barang yang tidak begitu meyakini keyakinan leluhur mereka. Setiap menjawab pertanyaan dari peserta seminar yang berhubungan dengan tradisi masa lampau yang bersifat mitis, beliau selalu menekankan kata “konon”, tidak terkesan sedikitpun Bpk. Mikami berusaha meyakinkan para peserta seminar bahwa kejadian-kejadian itu benar-benar merupakan kejadian yang pernah terjadi pada masa kekuasaan leluhur-leluhurnya, tetapi dengan bersikap seperti itu dan dengan menekankan kata “konon”, kesan bahwa upacara Seren Taun ini sakral menjadi luntur. Atas dasar inilah saya menarik kesimpulan bahwa target utama penyelenggaraan kembali upacara Seren Taun ini adalah pariwisata, sementara pelestarian budaya hanyalah menjadi tujuan sampingan, karena begitu banyak terdapat perubahan-perubahan dalam pelaksanaan kembali upacara ini. Pendapat saya ini diperkuat dengan latar belakang Bpk. Mikami yang merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses. Tentunya saya boleh mencurigai latar belakang beliau tersebut, karena bisa saja karena kebetulan orang “berduit” di daerahnya, maka beliau diajak untuk “menghidupkan” kembali perayaan upacara Seren Taun ini tanpa mengenal dan memahami kebudayaan dan proses ritual upacara tersebut secara mendalam. Namun walaupun demikian, kita patut memberikan acungan jempol kepada Bpk. Mikami dan warga Kampung Sindang Barang, karena bagaimanapun juga mereka sudah berusaha untuk “menghidupkan” kembali tradisi kebudayaan yang menjadi ciri khas daerah mereka yang sudah lama tidak diselenggarakan.

Labels: , , ,


Yellowlightdistrict © 2007-2009 | Template by ilhamsaibi | Modified by nederindo