Laporan pengamatan "Seminar Upacara Seren Taun-2006"

Tugas Akhir Mata Kuliah PMKI. Tulisan ini dibuat ketika penulis masih berkuliah di Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
oleh : Fajar Muhammad Nugraha
dosen : Prapto Yuwono M.Hum.


Artikel Laporan Tentang:

SEMINAR
UPACARA SEREN TAUN
DI KAMPUNG SINDANG BARANG, KABUPATEN BOGOR
DI KAMPUS FIB UI


Upacara Seren Taun adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat Sunda sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya berupa hasil pertanian yang telah Ia berikan untuk kesejahteraan hidup manusia. Selain itu, ritual Seren Taun ini juga merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Sunda terhadap tahun-tahun yang telah mereka lalui sekaligus menyambut tahun yang akan datang dengan harapan Tuhan Yang Maha Kuasa tetap memberikan limpahan rahmatnya berupa hasil pertanian yang mencukupi.

Upacara Seren taun ini dilaksanakan pada akhir bulan Mangsa Bakti (bulan ke-12 kalender Pajajaran). Upacara ini berlangsung selama empat hari berturut-turut, dimulai pada empat hari sebelum purnama pada bulan Mangsa Bakti dan berakhir ketika purnama penuh pada bulan itu. Upacara Seren Taun ini juga terbagi dua, yaitu Seren Taun Guru Bumi dan Seren Taun Tutug Galur. Seren Taun Guru Bumi adalah upacara yang diselenggarakan setiap tahun, sedangkan Seren Taun Tutug Galur adalah upacara yang diselenggarakan setiap delapan tahun sekali.

Kedua upacara ini tidak begitu berbeda, hanya saja waktu pelaksanannya yang berbeda.
Nama-nama bulan Pajajaran adalah:
Mangsa Guru : bulan ke-1
Mangsa Bumi : bulan ke-2
Mangsa Ratu : bulan ke-3
Mangsa Desa : bulan ke-4
Mangsa Ngarang : bulan ke-5
Mangsa Lilir : bulan ke-6
Mangsa Rarawat : bulan ke-7
Mangsa Dadama : bulan ke-8
Mangsa Sesela : bulan ke-9
Mangsa Budi : bulan ke-10
Suda Mangsa : bulan ke-11
Mangsa Bakti : bulan ke-12

Jadi, pelaksanaan upacara Seren Taun ini dilaksanaan pada akhir bulan Mangsa Bakti untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan hasil pertanian dan sekaligus menyambut datangnya bulan pertama di tahun baru, yaitu bulan Mangsa Guru, dengan harapan Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada masyarakat Sunda.

Pada tanggal 24 Mei 2006 diadakan seminar tentang kebudayaan dan kesenian Sunda di kampus Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Salah satu hal yang paling menarik didiskusikan adalah tentang pelaksanaan upacara Seren Taun. Mengapa saya berpendapat demikian? Karena, ternyata pelaksanaan Seren Taun pada tahun 2006 ini adalah pelaksanaan yang pertama setelah 35 tahun absen.

Pada tahun 1971, setelah kematian tetua masyarakat adat Sunda, terdapat perbedaan paham di dalam kubu masyarakat Sunda. Kubu yang pertama menginginkan bahwa kepala kerbau pada upacara Seren Taun dikuburkan, sementara kubu yang satunya lagi tidak mau menguburnya. Jadi alasan inilah yang menyebabkan dihentikannya penyelenggaraan upacara Seren Taun selama 35 tahun terakhir menurut Bpk. Mikami, pembicara sekaligus perwakilan masyarakat adat Sunda.

Menurut beliau, ketika pelaksanaan upacara Seren Taun diusulkan kembali pada tahun 2005, perbedaan pendapat tersebut terjadi kembali, sehingga diambillah jalan tengah dengan menguburkan bagian-bagian tubuh kerbau saja dengan dibalut kain putih dan daun pisang, karena menurut beliau, tradisi penguburan kepala kerbau itu adalah pengaruh dari masyarakat Cirebon.

Akhirnya kata sepakat diperoleh, dan upacara Seren Tun pun kembali diselenggarakan di Kampung Sindang Barang, Kabupaten Bogor. Namun saya berpendapat bahwa upacara yang mulai diselenggarakan lagi pada tahun 2006 ini bukanlah murni dilakukan dengan tujuan pelestarian budaya Seren Taun, karena ada banyak hal yang berubah dari ritual pelaksanaannya, yaitu mulai dari pengambilan jalan tengah untuk menguburkan bagian-bagian tubuh kerbau (untuk menghindari bentrok dua kubu yang berselisih paham), sampai kepada penari lelaki dewasa yang digantikan oleh wanita. Hal ini terjadi, menurut Bpk. Mikami, karena saat ini tidak ada lagi anak lelaki yang mau menari, itulah sebabnya tarian-tarian pada upacara ini diambil alih oleh kaum hawa.

Jadi, saya berpendapat bahwa pelaksanaan kembali upacara Seren Taun ini pada tahun 2006 lebih mempunyai tujuan pariwisata daripada sekedar untuk melestarikan kebuadayaan Sunda. Lama-kelamaan pelaksanaan upacara Seren Taun yang seperti ini bisa menjadi perusak kebudayaan asli masyarakat Sunda jika tidak ada kejelasan apakah kepala kerbau itu dikubur atau tidak, dan jika para penari lelaki dewasa tetap digantikan oleh wanita, karena hal ini bertentangan dengan upacara Seren Taun yang dilaksanakan terakhir kali pada tahun 1971.

Pendapat saya ini diperkuat dengan sikap pembicara sekaligus perwakilan tetua masyarakat Kampung Sidang Barang yang tidak begitu meyakini keyakinan leluhur mereka. Setiap menjawab pertanyaan dari peserta seminar yang berhubungan dengan tradisi masa lampau yang bersifat mitis, beliau selalu menekankan kata “konon”, tidak terkesan sedikitpun Bpk. Mikami berusaha meyakinkan para peserta seminar bahwa kejadian-kejadian itu benar-benar merupakan kejadian yang pernah terjadi pada masa kekuasaan leluhur-leluhurnya, tetapi dengan bersikap seperti itu dan dengan menekankan kata “konon”, kesan bahwa upacara Seren Taun ini sakral menjadi luntur. Atas dasar inilah saya menarik kesimpulan bahwa target utama penyelenggaraan kembali upacara Seren Taun ini adalah pariwisata, sementara pelestarian budaya hanyalah menjadi tujuan sampingan, karena begitu banyak terdapat perubahan-perubahan dalam pelaksanaan kembali upacara ini. Pendapat saya ini diperkuat dengan latar belakang Bpk. Mikami yang merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses. Tentunya saya boleh mencurigai latar belakang beliau tersebut, karena bisa saja karena kebetulan orang “berduit” di daerahnya, maka beliau diajak untuk “menghidupkan” kembali perayaan upacara Seren Taun ini tanpa mengenal dan memahami kebudayaan dan proses ritual upacara tersebut secara mendalam. Namun walaupun demikian, kita patut memberikan acungan jempol kepada Bpk. Mikami dan warga Kampung Sindang Barang, karena bagaimanapun juga mereka sudah berusaha untuk “menghidupkan” kembali tradisi kebudayaan yang menjadi ciri khas daerah mereka yang sudah lama tidak diselenggarakan.

Labels: , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home


Yellowlightdistrict © 2007-2009 | Template by ilhamsaibi | Modified by nederindo