Macet = budaya kontemporer Indonesia yang harus dibudidayakan????

Munculnya ide untuk sedikit berkomentar tentang kondisi lalulintas di kota Depok (yang setahu saya juga biasa disebut sebagai kota satelit bagi Jakarta, sama dengan beberapa kota satelit lainnya seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang) tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai wujud ketidak terimaan saya sebagai salah satu warga yang kebetulan berdomisili di Depok.

Sekitar 4 tahun yang lalu, tepatnya pada pertengahan tahun 2003 saya sampai di Depok. Sangat senang rasanya sampai di Depok, karena setelah sekian jam perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta (tentu saja melalui beberapa titik macet di Jakarta), akhirnya saya bisa sampai ke suatu kota yang benar-benar terbebas dari masalah macet.

Udara yang sejuk, jalanan yang tidak begitu ramai dan penuh sesak oleh kendaraan bermotor benar-benar tempat yang cocok untuk rencana melanjutkan studi. Lingkungan yang tenang dan nyaman, dan akses kendaraan yang mudah benar-benar tempat yang sangat cocok untuk saya. Namun, tidak terasa di pertengahan tahun 2004 semuanya tiba-tiba berubah, macet perlahan tapi pasti akhirnya menjadi hal yang sangat lumrah di Depok (sama lumrahnya dengan macet di Jakarta).

Masih teringat jelas ketika saya harus mengunjungi salah satu pusat kebudayaan negara Eropa di daerah Kuningan, Jakarta. Saat itu kegiatan perkuliahan di Kuningan dimulai pukul 9.00 WIB, dan saya bernagkat dari Depok pukul 06.30 WIB. Perjalanan dari Depok menuju Kuningan waktu itu tidak lebih dari 2 jam perjalanan. Kegiatan perkuliahan di daerah Kuningan adalah kegiatan tahunan dari jurusan yang saya masuki, dan pada tahun 2004 terjadi sedikit perubahan, karena waktu perjalanan yang saya butuhkan dari Depok menuju Kuningan meningkat drastis dari tahun sebelumnya (kurang dari 2 jam perjalanan) menjadi lebih dari 2 jam perjalanan.

Saya rasa (tidak tahu pasti karena tidak melakukan wawancara langsung dengan pihak pusat kebudayaan tersebut) pihak pusat kebudayaan mulai "mengendus" permasalahan macet di Depok, karena pada tahun ini saya ketahui bahwa perkuliahan di pusat kebudayaan tersebut dimulai pukul 11.00 WIB, hal ini mungkin disebabkan oleh semakin banyaknya mahasiswa/mahasiswi yang sebagian besar ngekos di Depok tidak dapat mengikuti perkuliahan di Kuningan karena tidak diperbolehkan masuk karena datang terlambat.

Jadi, apakah macet sebenarnya telah menjadi suatu budaya kotemporer di kota-kota besar di Indonesia??? Atau mau tidak mau kita harus menjadikan macet sebagai budaya kontemporrer di kota-kota besar di Indonesia, karena memang kita tidak bisa menanggulanginya, daripada kita selalu terbebani oleh masalah macet, sebaiknya menjadikan macet sebagai suatu budaya kontemporer???

...dan selanjutnya sejarah akan mencatat lahirnya budaya baru di Indonesia (tidak lagi masalah), yaitu MACET!

Salam,......

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home


Yellowlightdistrict © 2007-2009 | Template by ilhamsaibi | Modified by nederindo